Your shopping cart is empty!
Seputar Batumulia

DOKTRIN ORIGIN
Salah satu sisi lain yang menarik dari batu permata adalah darimana batuan tersebut berasal, atau disebut ‘country of origin’.
Meskipun jelas-jelas hal tersebut di luar penentuan kualitas (4 C), namun pasar menganggap bahwa asal negara juga penting untuk diketahui dan mencerminkan kualitas. Alih-alih merincikan semua negara asal-muasal batuan, di sini saya akan menjelaskan aspek-aspek, kriteria dan kondisi penentuan origin yang nantinya akan bisa menjawab seberapa penting origin dan juga kondisi yang terjadi sekarang di pasar batuan di Indonesia.
[dropcap]Semenjak itu, nama-nama seperti Burma, Kashmir dan Ceylon (untuk spesies batu Corundum) yang pada jaman itu mendominasi stok batu yang berkualitas di pasar, lantas mengemuka dan mempunyai gengsi tersendiri, dengan dibumbui aspek-aspek sentimental seperti nilai sejarah penggunaan batu-batuan oleh kaum raja dan bangsawan, romantisme budaya dan lokalitas, serta sedikit unsur mistis yang kemudian ikut dibungkus sebagai nilai tambah marketing batu mulia pada saat itu. Selanjutnya hal tersebut terwariskan secara turun-temurun sampai sekarang dan menjadi semacam doktrin bahwa batu mulia yang menyandang nama-nama tersebut adalah yang terbaik.
Keniscayaan tersebut lantas menjadi susah untuk dihilangkan, meski dengan adanya penemuan tambang-tambang baru seperti di Tanzania atau Madagascar. Tidak ada yang patut disalahkan memang, namun yang penting adalah adanya pemahaman yang benar atas kondisi yang benar-benar terjadi.
Untuk mempermudah pemahaman, tulisan ini tetap akan mewakilkan spesies Corundum, yaitu varitas Ruby dan Sapphire. Pada dasarnya setiap tambang di seluruh dunia lebih banyak menghasilkan batu dengan kualitas low-to-medium daripada yang high quality. Tidak ada satu tambang pun di dunia yang menghasilkan batu kualitas tinggi dengan proporsi yang lebih banyak. Penemuan Sapphire berkualitas tinggi dari Ilakaka, Madagascar ternyata bisa membelalakkan mata pasar dunia bahwa kualitasnya dari segi warna dan kejernihan tidak kalah dengan batuan serupa yang pernah ditemukan sebelumnya di tambang-tambang kuno. Di tambang tersebut juga ikut ditemukan batu-batu Sapphire dengan ukuran yang di atas rata-rata. Lantas apakah doktrin Sapphire Kashmir dan Ceylon bisa tergeser? Pada kenyataannya tidak. Pasar tetap teguh pada pendiriannya bahwa Sapphire Kashmir dan Ceylon adalah yang terbaik.
Dalam kasus ini, hal yang menyebabkan mengapa Madagassian Sapphire bisa ‘kalah’ adalah karena Madagascar belum mempunyai nilai sejarah sebagai penghasil Corundum yang terbaik. Burma, Kashmir dan Ceylon sudah mendarah daging dengan segala aspek-aspek sentimental yang terlanjur ‘menempel’ di batu dan di benak pasar. Kurangnya referensi terhadap sampel Ruby dan Sapphire berkualitas tinggi dari Madagascar juga ikut andil dalam kondisi ini. Pasar sekarang dijejali dengan low-quality glass-filled Ruby dan heated greenish-blue Sapphire dari Madagascar. Inilah yang membuat nama Madagascar sulit terangkat.
Kasus serupa juga bisa dianalogikan pada kasus handphone produksi China. Sampai sekarang ‘hape china’ dianggap sebagai produk low-quality, rapuh, mudah rusak dan tidak bergengsi, apapun alasannya. Kenyataannya, hape china sekarang sudah semakin canggih dan mulai bisa diterima segmen masyarakat tertentu. Fitur kecanggihannya pun selalu mengikuti hape yang terkini, meskipun kadang-kadang secara tampilan fisik masih merujuk ke merk yang lebih terkenal.
Di sini sepertinya kuncinya adalah pengayaan referensi. Seandainya pasar batu di Indonesia dibanjiri dengan Sapphire berkualitas dari Madagascar, maka lambat laun doktrin tersebut bisa luntur. Hal serupa terjadi juga untuk pasar Ruby. Pasar di Indonesia mulai menyadari bahwa Ruby dari Winza- Tanzania tidak boleh dilirik sebelah mata. Alih-alih memburu Ruby Burma yang semakin langka, mereka mulai beralih ke Tanzanian Ruby, meski mungkin dalam hati mereka tetap menganggap Burmese Ruby sebagai yang terbaik. Monggo saja.
Laboratorium gemologi sebagai pihak yang berwenang dalam penentuan origin dituntut untuk independen dan strict dengan metode dan referensi ilmiah yang ada. Kompleksitas penentuan origin merupakan konsekuensi yang harus diemban, bukan saja terhadap disiplin keilmuan atau almamater, namun juga kepada pasar. Sebenarnya penentuan origin oleh lab tidak sederhana. Diperlukan analisis terhadap karakter inklusi, karakter komposisi kimia, karakter spektral, sifat-sifat optik (khususnya Refractive Index dan Birefringence), karakteristik reaksi infra-red, dan reaksi luminescence. Sebagian besar metode tersebut adalah melihat yang tak kasat mata sehingga diperlukan instrumen lab yang lumayan canggih seperti gemological microscope, refractometer, spectrophotometer, dan lain-lain.
Dalam talkshow di event IGLO Expo di Yogyakarta beberapa waktu lalu, saya mendapatkan beberapa pertanyaan menarik tentang origin, di antaranya : Mengapa pencantuman origin oleh SKYLAB untuk batu Chalcedony (dikenal sebagai Keladen) yang jelas-jelas ditemukan Pacitan tidak spesifik hingga menyebut ‘from Pacitan’? Satunya lagi : Mengapa SKYLAB tidak bisa mengidentifikasi batu Sapphire yang ditemukan di Aceh sebagai origin Indonesia?
Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah bahwa pendekatan penentuan origin didasarkan atas serangkaian metode ilmiah yang merujuk kepada referensi yang ada. Metode itu didapatkan dari hasil riset on the spot (langsung ke tambang) yang dilakukan oleh para ahli geologi dan gemologi yang kemudian dituangkan ke dalam jurnal ilmiah dan diakui secara internasional sebagai metode dan referensi untuk menentukan ‘country of origin’. Nah, atas dasar itulah gemologist bekerja. Hasil penentuan origin selanjutnya disematkan sebagai ‘country of origin’ bukan ‘region of origin’. Itupun masih kontroversial terkait dengan akurasinya. Saya biasanya hanya menuliskan ‘origin Indonesia’ dalam sertifikat dan menambahkan pemahaman kepada klien saya secara lisan bahwa pada umumnya batuan jenis tersebut ditemukan di daerah ini dan daerah itu, misalnya.
Kuantitas hasil batu dari sebuah tambang juga mempengaruhi ketersediaan Sapphire di pasar. Pernahkah Anda mendengar bahwa Sapphire ditemukan juga di Colombia, Kenya, Laos, Tasmania, Slovakia dan New Zealand? Meskipun jurnal ilmiah untuk itu sudah ada namun karena kuantitas hasil tambangnya sangat minim, Sapphire tersebut tidak memberikan kontribusi banyak untuk perdagangan secara internasional.
Sejak lulus dari GIA tahun 2003, perlu waktu sepuluh tahun untuk kemudian pada awal 2013 saya memutuskan mencantumkan origin dalam gem report, setelah selama itu pula mengumpulkan dan menganalisis ribuan spesimen, mengikuti berbagai workshop dan seminar gemologi, melengkapi peralatan dan melakukan simulasi. Selama itu pula saya menolak permintaan pasar untuk mengeluarkan origin, karena bagi saya penentuan origin tidaklah semudah seperti kita membedakan siang dan malam dan di sisi lain harus dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun saat ini tidak ada satu lab pun di dunia yang berani menjamin akurasi 100% terhadap hasil analisis origin, namun setidaknya kesimpulan origin tersebut telah didasarkan atas metode yang benar.
Akhirnya, origin selayaknya tidak diposisikan sebagai aspek yang mempengaruhi kualitas karena memang tidak ada kaitannya. Selanjutnya siapapun Anda, hobbyist, collector, supllier ataupun seller, berhak mempunyai keyakinan terhadap kualitas batu secara keseluruhan tanpa menjadikan asal batuan sebagai penentu kualitas dan mulailah mengabarkan kondisi yang sebenarnya demi kondisi pasar yang ideal.
Penulis
Nugroho, SE.AJP.GG (GIA)
SKY LAB OWNER
- Super User
- Blog
- Dilihat: 203